Jumat, 24 Juni 2011

Kesadaran Generasi Muda untuk Bangkit dari keterjajahan , Kesadaran akan situasi Penindasan

Keprihatinan kita bukan saja kepada aspek perekonomian, tetapi juga kepada pembentukan sebuah generasi yang kuat, inovatif dan konsisten untuk membangun bangsa.

Kaum terpelajar Indonesia pada masa penjajahan kolonial Belanda telah meletakkan  dasar kuat bagi semangat untuk bangkit menjadi negara dan bangsa berdaulat. Sejarah mencatat semangat untuk bangkit menjadi negara dan bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat, dilatarbelakangi oleh kenangan rakyat Indonesia terhadap kejayaan pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Selama berabad-abad rakyat Indonesia menghadapi penjajahan sehingga mengalami penderitaan perih. Politik drainage (pengerukan kekayaan) seperti sistem tanam paksa (cultur stelsel) bukan hanya menjadi penderitaan, tapi juga traumatik bagi rakyat Indonesia. Di awal abad 20, pemerintah kolonial Belanda bahkan melakukan diskriminasi sosial.

Dalam bentuk piramida kelas sosial, posisi paling atas ditempati oleh orang-orang Belanda. Posisi orang Timur Asing Cina, Portugis dan sebagian bangsawan/priyayi berada di peringkat kedua. Di peringkat paling bawah adalah rakyat jelata yang memiliki keterbatasan pengetahuan dan informasi, sehingga menjadi sasaran empuk untuk menjadi kelas pekerja.

Dalam keadaan seperti itulah sejumlah kecil golongan terpelajar Indonesia merasa tersentuh nurani dan bergejolak nasionalismenya untuk menjadi bangsa dan negara merdeka. Dilatarbelakangi oleh keadaan sosio-ekonomi yang semakin buruk di pulau Jawa karena eksploitasi kaum kolonial dan westernisasi, seorang priyayi yakni Dr. Wahidin Sudirohusodo bangkit mengangkat kehormatan rakyat Jawa dengan memberikan pengajaran bersama dengan Soetomo, seorang mahasiswa sekolah dokter Jawa (Stovia School Tot Opleding van Indishe Arsten. Keduanya dikenal membentuk Budi Utomo (BU) di Jakarta pada 20 Mei 1908.

Kini peringatan kebangkitan nasional sejak digagas telah mencapai usia 103 tahun Kebangkitan nasional Indonesia ditandai dengan beragam kemajuan dan juga kendala untuk membawa bangsa Indonesia mencapai cita-cita menjadi negara dan bangsa yang adil dan makmur.

Peristiwa 103 tahun kebangkitan nasional memberi kesadaran tinggi untuk tetap mempertahankan Indonesia sebagai negara kesatuan, membangun bangsa pada semua sendi kehidupan dan mewujudkan citra bangsa dan negara Indonesia di mata dunia. Upaya ini idealnya melibatkan semua unsur masyarakat Indonesia, mulai dari pemerintah sampai kepada semua lapisan masyarakat.

Sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat agar dapat keluar dari berbagai masalah yang timbul di dalam dan di luar negeri. Komitmen kuat itu bahkan sudah ditunjukkan oleh para pendiri negara Indodnesia, sebelum dan sesudah bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan, lepas dari cengkraman penjajahan.

Di tangan para pendiri dan generasi pelanjut kemerdekaan itulah, beragam energi dan sumber mineral yang terkandung di bumi pertiwi dioptimalkan untuk kepentingan dan kebutuhan bangsa Indonesia.

Namun, setelah usia 66 tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2011, keinginan mewujudkan negara yang memiliki fondasi kuat di semua sendi kehidupan  belum seluruhnya tercapai. Sejumlah indikator yang akan mencerminkan keadaan Indonesia di mata dunia yakni penerimaan devisa negara masih belum optimal. Setelah minyak dan gas serta pariwisata tidak lagi memberi sumbangan berarti bagi devisa negara, kini penerimaan sektor pajak jadi andalan.


Penggerusan

Namun, keprihatinan kita bukan saja kepada aspek perekonomian, tetapi juga kepada pembentukan sebuah generasi yang kuat, inovatif dan konsisten untuk membangun bangsa dan negara Indonesia. Jika pada masa penjajahan kolonial Belanda terjadi politik pengerukan kekayaan di bumi nusantara, sekarang justru terjadi penggerusan kecerdasan (brain drain) Praktik penggerusan itu sudah terjadi dan dilakukan oleh negara-negara industri maju melalui kesempatan belajar di sekolah dan universitas kelas dunia.

Sejumlah negara menawarkan beasiswa dan kerja kepada putra-putri Indonesia yang memiliki reputasi akademik tinggi setelah melalui tahapan uji kemampuan yang ketat. Singapura misalnya, secara terbuka memberi kesempatan itu kepada pelajar dan mahasiswa Indonesia. Tawaran menggiurkan itu tentu saja disambut hangat baik oleh pelajar dan mahasiswa Indonesia dan pastilah akan menguntungkan bagi pemerirntah Singapura.

Selain memperoleh pelajar dan mahasiswa yang cerdas, enerjik dan inovatif, pemerintah Singapura akan memperoleh tenaga kerja muda dan unggul. Apalagi pemerintah memberikan sarana laboratorium untuk berbagai riset dan bermanfaat bagi dunia usaha dan dunia industri negaranya. Setelah tamat, para lulusan diikat kontrak untuk bekerja selama beberapa waktu dengan imbalan tinggi.

Di negara industri maju lain, lulusan perguruan tinggi asal Indonesia yang belajar di universitas kelas dunia, cenderung ”betah” dan tidak mau ”pulang kampung” karena memilih bekerja di berbagai negara yang menjanjikan peluang karier dan imbalan tinggi. Keputusan itu tentu saja masuk akal bila dibandingkan dengan peluang karier dan imbalan bila kembali ke institusi asal.

Sejumlah lulusan mengeluh kepada ketersediaan laboratorium yang minim, perlakuan atasan yang tidak kondusif, dan peluang pengembangan karier di masa depan. Sejumlah lulusan yang memperoleh beasiswa dari instansinya malah bersedia mengganti semua biaya yang sudah diterimanya sejak dari proses studi hingga tamat.

Penggerusan kecerdasan pada kaum terpelajar Indonesia, sepatutnya tidak boleh dibiarkan. Dalam jangka panjang, saat perekonomian Indonesia masih labil, penggerusan kecerdasan itu akan merugikan bangsa dan negara Indonesia. Sebagai negara yang memiliki sumber alam dan mineral yang banyak dan bervariasi, Indonesia memerlukan banyak tenaga ahli yang berasal dari rakyat Indonesia. Bukan tenaga ahli dari luar (ekspariat). Oleh karena itu, ketergantungan pada ekspatriat harus terus dikurangi.

Di masa depan Indonesia tidak lagi menjadi pemasok tenaga kerja kategori teknisi (pekerja kasar) yang berpendidikan rendah dan tidak terampil seperti pada kualifikasi tenaga kerja Indonesia (TKI) yang menjadi pembantu rumah tangga dan buruh bangunan. Indonesia harus menjadi pemasok tenaga kerja semi profesional dan profesional yang siap berkiprah pada pekerjaan yang lebih mengandalkan otak dari pada otot. Peluang itu sangat mungkin diwujudkan mengingat Indonesia memilki sekitar 3.500 perguruan tinggi (negeri dan swasta) yang akan mencetak lulusan sarjana dan pasca sarjana.

Para lulusan inilah yang akan mengendalikan Indonesia di masa depan. Sebab inilah saatnya tahun kebangkitan bagi kaum terpelajar Indonesia, agar mampu membawa bangsa dan negara Indonesia sejajar dengan negara-negara industri maju dunia. Saat ini dan di masa depan para lulusan perguruan tinggi inilah yang akan berperan aktif pada semua sendi kehidupan.

Kita berharap para lulusan perguruan tinggi ini tidak tergiur kemudian hengkang dari Indonesia untuk bekerja di luar negeri. Tapi justru memiliki komitmen dan konsisten untuk membangun bangsa dan negara Indonesia.
Bukan sebaliknya, dengan kekuasaan yang dimiliki justru ”menjual” kewenangannya untuk kepentingan komersial individu dan kelompok kepada berbagai pihak dari negara lain.Jadi, mari bersama –sama bangkit dan mewujudkan Indonesia sebagai negara industri maju. 

Menurut sejarah yang dicatat oleh waktu, sekelompok pemuda Indonesia pertama kali mendirikan perkumpulan yang mengusung tema perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajah dalam bentuk organisasi modern. Momentum tersebut di kemudian hari dijadikan sebagai salah satu peristiwa titik balik bangsa ini dalam merebut kemerdekaannya. Sebenarnya, jika dilihat lebih detil pada sejarah, ada beberapa organisasi yang juga mengusung tema kemerdekaan namun dengan nama yang berbeda. Tapi bukan itu yang akan menjadi titik beratnya.

Di tengah kondisi bangsa dan negara yang saat ini berada dalam krisis multidimensi berkepanjangan seperti tak berujung ini, bangsa ini butuh harapan. Dan harapan muncul dari sebuah momentum. Oleh karena itulah, mengapa momentum 100 tahun kebangkitan nasional menjadi penting. Masalah yang berlarut pada bangsa ini membutuhkan solusi dan perubahan menuju kea rah yang lebih baik. Namun perubahan itu sendiri bukan tanpa energy. Terutama harga social yang sangat menyedot energy kita. Dengan adanya momentum kebangkitan ini, energy tersebut diharapkan mengisi kembali baterai kesadaran kita, untuk bekal melakukan perubahan.

Tapi, seperti terlihat di tengah realita sebagian masyarakat kita, benarkah kesadaran akan kebangkitan untuk perubahan ke arah yang lebih baik itu sudah muncul pada setiap hati jiwa Indonesia? Budaya negative yang tengah menjamur pada sebagian remaja, penyakit individualistis- yang menyebabkan ketidakpedulian terhadap kondisi masyarakat- yang menulari para pemuda, serta berbagai fenomena yang menyebabkan keraguan terhadap kebangkitan pemuda bangsa ini menjadi semakin bertambah. Mampukah bangsa ini bangkit untuk yang ke sekian kalinya?

Optimisme adalah sesuatu yang mutlak ada pada bangsa pemenang, tentu saja pemuda sebagai tulang punggung utama kebangkitan juga memiliki keinginan untuk menang. Dan oleh karenanya, optimisme harus dimiliki pemuda pada zaman penuh tantangan ini. Tentu saja optimisme yang dibangun bukanlah bersandarkan pada angan-angan dan khayalan picisan tak bermutu. Harapan dan optimism ini harus tetap kita jaga dengan momentum-momentum untuk pengisian energy. Disertai dengan kerja keras dan cerdas yang tepat pada jalur untuk merebut kemenangan.

Pertanyaan berikutnya kemudian muncul, seperti apa bentuk kerja yang optimal untuk pemuda dalam konteks kebangkitan untuk meraih kemenangan ? Sesuatu yang paling mendasar dalam pemikiran kita pun harus dimerdekakan. Oleh karena itulah kita butuh kebebasan dan kemderdekaan dalam mengapresiasi perjuangan merebut kemenangan. Dan kebebasan tersebut tetap dalam koridor yang bertanggung jawab. Inilah yang kemudian sulit dikendalikan, terkadang atas nama kebebasan, para pemuda berbuat diluar batas tanpa pertanggung jawaban. Kebebasan dan tanggung jawab ini harus dalam bingkai nilai dan norma murni dari bangsa Indonesia itu sendiri. Ini agar kemerdekaan tersebut tidak menjadi alat tunggangan dari hal-hal asing, terutama yang mengancam masyarakat Indonesia.

Sebagai contoh, apakah digolongkan sebuah kebangkitan generasi muda, jika hiburan-hiburan yang dibuat dan dinikmati adalah sesuatu yang mengedepankan hawa nafsu. Mungkin alasannya adalah kebebasan berekspresi, tapi ingat, kebebasan manusia bukan tidak terbatas, karena kebebasan manusia lain adalah pembatasnya. Kalau kebebasan kebablasan seperti ini yang terjadi, maka tinggal menunggu kekacauan berikutnya, bukan malah kemenangan dan kebangkitan yang didapat.

Keberhasilan Tolak Ukur nya bukan dari Pujian atau gemuruhnya Tepuk Tangan Penonton

PROSES adalah perjalanan... 


HASIL adalah TUJUAN...


Bila kita lakukan sesuatu yang baik dan hasilnya orang memuji, lalu ada rasa senang, maka itu tak apa.

Rasa senang muncul bukan karena kehendak kita. Rasa senang itu alamiah,itu anugerah.

Rasa senang itu bagai belaian alam yang mengusap keringat anda; mengubah butir-butirnya menjadi gula-gula pemanis. Namun, Tolong di perhatikan dan menjadi catatan .. apabila kemudian kita menikmatinya dan bekerja demi memperoleh kesenangan dari pujian itu,maka itu mara. 

Itu petaka. Saat itu kita telah kehilangan kebebasan dalam berkebaikan. Kita seolah bekerja keras agar orang lain puas, padahal gelisah menanti ceceran remah-remah sanjungan.

Jangan demikian...!!! Jangan timbang keberhasilan kita dari seberapa tinggi pujian atau penghormatan orang lain pada kita.

Seluruh bakat kita anugerah alam, maka kembalikan ia pada alam. Lepaskan itu sebagaimana anda melepaskan seekor ELANG.

Seperti kata seorang pujangga bahwa Elang milik langit, biarkan ia ditelan langit.

Selasa, 21 Juni 2011

Selamat Jalan Pahlawan Devisa .. Pemerintah Indonesia berdosa karenanya.

Innalillahi wa inalillahi rojiun,…


Selamat Jalan Ibunda Ruyati Binti Satubi,Umur 54 THN, TKW Indonesia yang menjalani hukum pancung di Arab Saudi.

Kekerasan yang dialami TKI di luar negeri, termasuk hukuman pancung yang dialami Ruyati oleh pemerintah Arab Saudi pada Sabtu (18/6) menunjukan bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia gagal memenuhi hak konstitusional warga negaranya sendiri ,Harusnya itu menjadi tanggung jawab negara memberikan pendidikan, lapangan pekerjaan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pengiriman TKI ke luar negeri di lihat dari sisi lain sebenarnya suatu hal yang membuktikan bahwa Negara telah lepas tangan karena dia tidak bisa memberikan hak-hak warga Negara.
Untuk itu, pemerintah harus melakukan pekerjaannya di dalam negeri dengan membenahi sektor pendidikan, tenaga kerja dan berbagai sektor terkait dalam pemberian lapangan kerja yang layak.
Eksekusi pemancungan terhadap Ruyati di lakukan tanpa pemberitahuan kepada perwakilan Indonesia seolah mengabaikan kewajiban kekonsuleran otoritas Arab Saudi kepada perwakilan Indonesia. Berdasarkan kelaziman yang dapat diargumentasikan sebagai hukum kebiasaan internasional, perwakilan dari warga yang akan menjalani eksekusi mati wajib diberi tahu oleh otoritas setempat. 
Bahkan diplomat dari perwakilan tersebut diberi kesempatan untuk menyaksikan eksekusi. Oleh karenanya sangat aneh bila perwakilan Indonesia di Arab Saudi tidak mendapat pemberitahuan. Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia perlu bersikap tegas terhadap Pemerintah Arab Saudi yang menyepelekan kewajiban memberi tahu.
Masalah TKI ini harus mendapat perhatian yang lebih serius dari pemerintah agar berbagai peristiwa tidak terus berulang. Tidak seharusnya berbagai institusi pemerintah bersilang pendapat. Semua saling mengumbar alasan pembenar, seolah melepaskan tanggung jawab mereka sebagai aparatur Negara yang sebenarnya secara filosofis adalah pelayan masyarakat. Mereka lah yang seharusnya bertindak lebih dulu, dan tindakan mereka seharusnya tersistem dan rapi mampu menjalani kordinasi yang baik antara satu instansi dengan instansi lainnya atau bahkan mampu menjadi wakil untuk berdiplomasi terhadap pihak Arab Saudi. Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat, misalnya, menyatakan penyampaian pemberitahuan bukan merupakan kewajiban dari otoritas Arab Saudi karena tidak diatur dalam perjanjian bilateral.
Menurut saya, Pernyataan itu sangat aneh mengingat hingga saat ini perjanjian bilateral yang mengatur TKI itu ada sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 27 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Terlebih lagi pernyataan tersebut tidak keluar dari instansi yang bertanggung jawab untuk urusan luar negeri. 
Kementerian luar negeri yang memiliki otoritas untuk urusan luar negeri telah menyampaikan bahwa kewajiban memberi tahu dari Pemerintah Arab Saudi tidak dilakukan. 
Oleh karenanya dalam menghadapi negara lain dan memperjuangkan hak bangsa dan negara ini, berbagai instansi pemerintah harus tahu porsi tugas masing-masing dan melakukan koordinasi agar tidak terjadi kesimpangsiuran. Pemerintah juga harus menyadari, ketegasan mereka harus terlihat di mata publik Indonesia. 
Jangan sampai publik membandingkan ketegasan Pemerintah Indonesia dengan ketegasan Pemerintah Australia dalam kasus impor sapi. Bila Pemerintah Australia dapat bertindak tegas, mengapa Pemerintah Indonesia tidak bisa juga bertindak tegas terhadap Pemerintah Arab Saudi? Bukankah nyawa manusia lebih berharga daripada sapi? Ke depan dalam rangka perlindungan TKI, pemerintah tidak cukup dengan melakukan pendampingan bantuan hukum ketika TKI sedang dirundung masalah hukum.
Pemerintah sangat lamban dan cenderung sangat reaksioner dalam bertindak, karena selalu bekerja dan bergerak setelah masalah ini sudah terangkat, seharusnya kinerja pemerintah harus lebih mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang berkaitan tentang hak-hak para Tenaga kerja Indonesia.
Menurut saya, Pembentukan BNP2TKI adalah bukti ketidak seriusan pemerintah menangani hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tenaga kerja Indonesia , karena keberadaannya sama saja melegalisasi kegagalan pemerintah, karena BNP2TKI itu tidak perlu ada kalau pemerintahnya berhasil.
Kinerja Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) itu pun harus segera dievaluasi. Sebab, kasus kekerasan yang dialami para pahlawan penyumbang devisa seakan tidak bisa dihentikan.